Jumat, 30 Oktober 2015

Makanan Tradisional


Terong Mapui

Terong ungu yang sedang besarnya, dibakar dengan kulitnya hingga matang dan menjadi lembek. Kemudian siapkan lombok rawit, terasi, garam, serei, diulek halus, ditambah ikan bakar yang berlemak dan terong bakar, ditekan pelan-pelan sampai tercampur.
Salah satu makanan khas suku dayak yang banyak di gemari oleh banyak orang, terong ungu atau yang disebut terong mapui ini sangat pedas karena di campur dengan lombok rawit dengan rasa yang asam dan asin.

Paing Ala Suku Dayak

2755708000_e41fdc8398_oSuku Dayak  menyebutnya sebagai hawa, prok, cecadu, kusing tayo, paing atau bangamet/bangamat. Suku dayak punya ciri khas dalam memasaknya. Paing yang akan dimasak hanya dibuang kuku, bulu kasar di tekuk dan punggung, serta ususnya. Sementara sayap, bulu serta dagingnya juga di masak, karena rasanya akan lebih enak dan khas.
Memasak paing ala Dayak menggunakan bumbu minimalis, yaitu hanya serai dan daun asam pikauk/ sejenis daun yang rasanya asam. Kalau tidak ada bisa diganti dengan asam jawa sedikit dan kalau suka bisa ditambahkan irisan bawang merah. Penggunaan bumbu yang minimalis ini adalah untuk mempertahankan rasa dan aroma asli dari paing atau kalong tersebut.

Sayur Umbut Kelap

image.tempointeraktif.comSayur umbut kelapa terbuat da­ri serabut pucuk pohon ke­la­pa yang lembek. Makanan khas suku Dayak Ngaju ini le­bih enak dimakan dengan opor da­ging sapi atau ayam, dan sam­bal goreng kacang pu­tih atau kacang tolo. Sebagai pe­leng­kapnya sambal terasi atau sam­bal mangga muda.
Bentuk dan warnanya tidak jauh berbeda dengan rebung putih. Yang membedakan, sayuran ini jauh lebih manis bila dibandingkan dengan rebung. Ini mungkin karena asalnya dari kelapa. Tak heran bila suku Dayak menyukai sayuran ini masih dalam kondisi mentah (belum dimasak). Mereka akan memakannya dengan dicampur dengan sambal.

SUMBER:http://naomielisaoke.blogspot.co.id/2013/12/makanan-khas-suku-dayak-kanayatn.html

Lembaga Adat dan Sistem Kekerabatan

 

Lembaga Adat

    Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul keturunan diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budayanya diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial yang dusebut binua. Binua merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampung (dulunya Radakng/Bantang). Masing masing binua punya otonominya sendiri, sehingga komunitas binua yang satu tidak dapat mengintervensi hukum adat di binua lain.
Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong(kepala desa). timanggong memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (pengurus adat) dan pangaraga (pengacara adat). Ketiga pilar inilah yang menjadi lembaga adat Dayak Kanayatn

Sistem Kekerabatan

     Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada perkara perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.

SUMBER:https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Kanayatn

Bahasa

 

Bahasa

     Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana' serta damea/jare dan yang serumpun. Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan berbagai dialek dan juga logat pengucapan. Beberapa contohnya ialah : orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe, padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke (Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngalampa, songga batukng-ngalampa dan angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa baru.

     Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan". Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti ,bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau melayu.

SUMBER: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Kanayatn

Selasa, 27 Oktober 2015

Senjata Tradisional

Mandau




       Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Bagian-bagian Mandau

1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu. Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.

2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.

3. Sarung Mandau
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Nilai Budaya Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.

SUMPIT

        Sumpit atau sipet adalah senjata yang digunakan untuk berburu maupun dalam pertempuran terbuka atau sebagai senjata rahasia untuk pembunuhan diam diam. Penggunaan sumpit yaitu dengan cara ditiup. Dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. Dan salah satu kelebihan dari sumpit atau sipet ini memiliki akurasi tembak yang dapat mencapai mencapai 218 yard atau sekitar 200 meter.

Sebelum berangkat ke medan laga, mereka mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek. Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba saja satu per satu serdadu Belanda terkapar, membuat sisa rekannya yang masih hidup lari terbirit-birit. 

PERISAI/GUNAPM

        Alkisah pada jaman dulu terdapat legenda Pengayau orang Iban, yakni Langindang dan Langkacang. Pada saat pertempuran sengit berlangsung , tubuh Langindang tiba-tiba bergidik melihat perisai Langkacang. Tubuhnya menjadi lemas . Ia pun ketakutan luar biasa karena perisai Langkacang yg bermotif Iban Laki-Laki. Lain dengan Langkacang, Ia tiba-tiba iba dengan Langindang ketika menatap perisai yang digunakan Langindang. Perisai Langindang yg bermotif Iban perempuan , malah menyurutkan semangat tempurnya, karena kasihan dengan musuh.


Legenda orang Dayak Iban tentang pertempuran Langindang dan Langkacang, menggambarkan keyakinan suku Dayak Iban pada motif-motif yg dilukis diatas perisai. Masing-masing motif disimbolkan sebagai Gergasi (mahluk supranatural). Bagi Dayak Iban, perisai untuk berperang mempunyai dua macam jenis ukiran, yakni Laki-laki dan Perempuan.

Perbedaan jenis ukiran ini bukan dipandang dari segi penggunaannya, namun dari segi pengaruh magisnya. Motif Ukiran Perisai Laki-laki dipercaya mempengaruhi orang agar lemah semangat, takut luar biasa ketika memandang motifnya. Sedangkan motif Perisai perempuan, bisa membuat orang yang melihatnya merasa iba dan timbul rasa kasihan.

Perisai laki-laki digambar dengan motif-motif Gergasi. Gergasi digambarkan sebagai raksasa , memiliki tenang yg kuat, raut wajah yg menakutkan serta sepasang matanya merah menyala dengan dua pasang taring runcing. Warna yg digunakan untuk menggambar motif ini didominasi warna merah darah. Pada jaman dahulu, para pengayau menggunakan darah musuh dan dicampur dengan warna buah rotan sebagai penambah warna perisai.

Sedangkan ukiran Perisai perempuan digambarkan Gergasi yg dibuat sedemikian rupa sehingga menggambarkan kelembutan, keramahan dan persahabatan. Walaupun dipersepsikan sebagai Gergasi, gambaran watak Gergasi Perempuan tidak sama dengan Gergasi Laki-laki. Warna yg digunakan dalam menggambar perisai perempuan kebanyakan warna cerah seperti, kuning dan Putih. Pada jaman Dahulu warna-warna tersebut diambil dari kunyit dan kapur sirih.

Bahan perisai harus terbuat dari Kayu Jeluntung, Kayu Liat atau kayu ringan lainnya. Ukuran tinggi perisai disesuaikan dengan tinggi sang pemakai/pemiliknya. Karena perisai menjadi benteng bagi pemakainya. Sekarang perisai hanya disimpan sebagai barang pusaka. Perisai-perisai yang lama diyakini mampu membentengi rumah dari mara bahaya. Sedangkan perisai yang baru fungsinya hanya menjadi hiasan rumah.

Tetapi amat disayangkan, dewasa ini tidak semua orang bisa memahami filosofi yg terkandung dalam motif perisai Dayak Iban ,yang merupakan hasil budaya sarat makna religius dan fungsi praktis. Karenanya filosofi perisai Dayak Iban harus diimplementasikan secara benar sebagai satu sikap pernghargaan terhadap budaya Dayak itu sendiri. Bukan hanya sekedar hiasan dinding belaka.

SUMBER:https://bobyarya.wordpress.com/2014/02/23/makna-ukiran-perisai-dayak-iban/

Kehidupan Religi/Kepercayaan

KONSEP “JUBATA” MENURUT KEYAKINAN DAYAK KANAYATN

 

        Untuk mengungkapkan apa yang disebut “JUBATA” oleh Masyarakat adat Dayak Kanayatn, agar dapat dimengerti dan dipahami secara jelas bukanlah merpakan yang sederhana dan perlu waktu yang cukup banyak, karena tidak dapat dipisahkan dan sangat erat sekali kaitannya dengan adat, mithe-mithe tentang kejadian alam semesta dan manusia dan mithe-mithe lainya yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya. Masyarakat adat Dayak Kanayat yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara lain: balis, bunyi-bunyi’an, antu, sumangat urakng mati,
dan JUBATA. Kedua alam khidupan ini dapat saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan alam nyatan dan kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka (Dayak Kanayatn) telah menyusun secara arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini, yang terangkum dalam apa yang disebut ADAT.


Sekedar untuk diketahui seperlunya bahwa yang tergolong ADAT di kalangan Masyarakat Adat Dayak Kanayatn antara lain:
  • Peraga-peraga adat, lambang, dan simbol-simbol 
  • Bahasa, seni, dan budaya adat 
  • Hak-hak kepemilikan adat
  • Kearifan-kearifan dan keyakinan adat
  • Adat-istiadat dan hukum adat
  • Upacara-upacara adat: Upacara-upacara adat adalah kegiatan ritual bagi masyarakat adat dayak Kanayatn untuk berhubungan dengan Jubata.


Masyarakat Adat Dayak Kanayatn sangat yakin bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini berasal dari Jubata. Jubata sebagai Pencipta, dan Pemelihara segala sesuatu yang ada di alam nyata maupun di alam maya dan karena itu dikalangan masyarakat adat Dayak Kanayatn Jubata sangat dihormatai, dimuliakan dan diagungkan. Jubata diyakini pulas sebgai yang sangat baik, sangat murah hati, sangat adil, tetapi tidak segan untuk menghukum perbuatan-perbuatan yyang jahat. Mari kita simak beberapa kalimat dan penggalan kalimat yang mengungkapkan hal-hal di atas: 
  • Jubata nang baramu’ ai’ tanah, Adil ka Talino, Bacaramin ka Saruga, Basengat ka Jubata,     Samuanya baranse’ ka Jubata. 
  • Jubata ina’ munuh, Jubata ina tidur, Jubata ina Bengkok. 
  • Labih adat Jubata bera, kurang adat antu nuntut. Adat manusia sakanyang parut, adat Jubata sapatok insaut, dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang menyatakan hal tersebut. Jubata sebagai pencipta dan pemelihara segala sesuatu itu oleh Masyarakat Adat Dayak Kanayatn disebut pula Jubata Tuha, yang dijabarkan dengan bahasa sederhana sebagai berikut: Ne’ Panitah, Ne’ Pangira, Ne’ Patampa, Ne’ Pangadu’, Ne’ Pangedokng, Ne’ Pajaji, Ne’ Pangingu. Hitungannya ada 7 (Tujuh), dan senantiasa diperingati pada setiap upacara ritual adat oleh Panyangahatn (Imam Adat) dalam Bamangnya sebagai berikut: Asa...dua...talu...ampat...lima...anam...tujuh, agi’nya koa....dst. Untuk menghadirkan atau (lebih tepat mengundang) Jubata untuk hadir pada setiap upacara ritual adat yang dilaksanakan, panyangahatn melakukan beberapa hal misalnya:

  • MemanggilNya dengan suara jelas dan lantang Ooooooooooo Kita’ JUBATA.....dst..dst.
  • MemanggilNya dengan perantaraan Bujakng Pabaras, yang dilambangkan dengan menghamburkan biji beras yang utuh sebanyak tujuh biji dengan bamang sbb: Aaaa....ian Kita’ Bujakng Pabaras, Kita’ nang ba tongkakng lanso, nang ba seap libar, ampa jolo basamptn, linsode batinyo saluakng jannyikng......dst.
  • MemanggilNya dengan bunyian Potekng Baliukng sebanyak 7 kali

SUMBER:http://mengenalsukudayakdikalimantanbarat.blogspot.co.id/