Selasa, 27 Oktober 2015

Senjata Tradisional

Mandau




       Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Bagian-bagian Mandau

1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu. Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.

2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.

3. Sarung Mandau
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Nilai Budaya Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.

SUMPIT

        Sumpit atau sipet adalah senjata yang digunakan untuk berburu maupun dalam pertempuran terbuka atau sebagai senjata rahasia untuk pembunuhan diam diam. Penggunaan sumpit yaitu dengan cara ditiup. Dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. Dan salah satu kelebihan dari sumpit atau sipet ini memiliki akurasi tembak yang dapat mencapai mencapai 218 yard atau sekitar 200 meter.

Sebelum berangkat ke medan laga, mereka mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek. Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba saja satu per satu serdadu Belanda terkapar, membuat sisa rekannya yang masih hidup lari terbirit-birit. 

PERISAI/GUNAPM

        Alkisah pada jaman dulu terdapat legenda Pengayau orang Iban, yakni Langindang dan Langkacang. Pada saat pertempuran sengit berlangsung , tubuh Langindang tiba-tiba bergidik melihat perisai Langkacang. Tubuhnya menjadi lemas . Ia pun ketakutan luar biasa karena perisai Langkacang yg bermotif Iban Laki-Laki. Lain dengan Langkacang, Ia tiba-tiba iba dengan Langindang ketika menatap perisai yang digunakan Langindang. Perisai Langindang yg bermotif Iban perempuan , malah menyurutkan semangat tempurnya, karena kasihan dengan musuh.


Legenda orang Dayak Iban tentang pertempuran Langindang dan Langkacang, menggambarkan keyakinan suku Dayak Iban pada motif-motif yg dilukis diatas perisai. Masing-masing motif disimbolkan sebagai Gergasi (mahluk supranatural). Bagi Dayak Iban, perisai untuk berperang mempunyai dua macam jenis ukiran, yakni Laki-laki dan Perempuan.

Perbedaan jenis ukiran ini bukan dipandang dari segi penggunaannya, namun dari segi pengaruh magisnya. Motif Ukiran Perisai Laki-laki dipercaya mempengaruhi orang agar lemah semangat, takut luar biasa ketika memandang motifnya. Sedangkan motif Perisai perempuan, bisa membuat orang yang melihatnya merasa iba dan timbul rasa kasihan.

Perisai laki-laki digambar dengan motif-motif Gergasi. Gergasi digambarkan sebagai raksasa , memiliki tenang yg kuat, raut wajah yg menakutkan serta sepasang matanya merah menyala dengan dua pasang taring runcing. Warna yg digunakan untuk menggambar motif ini didominasi warna merah darah. Pada jaman dahulu, para pengayau menggunakan darah musuh dan dicampur dengan warna buah rotan sebagai penambah warna perisai.

Sedangkan ukiran Perisai perempuan digambarkan Gergasi yg dibuat sedemikian rupa sehingga menggambarkan kelembutan, keramahan dan persahabatan. Walaupun dipersepsikan sebagai Gergasi, gambaran watak Gergasi Perempuan tidak sama dengan Gergasi Laki-laki. Warna yg digunakan dalam menggambar perisai perempuan kebanyakan warna cerah seperti, kuning dan Putih. Pada jaman Dahulu warna-warna tersebut diambil dari kunyit dan kapur sirih.

Bahan perisai harus terbuat dari Kayu Jeluntung, Kayu Liat atau kayu ringan lainnya. Ukuran tinggi perisai disesuaikan dengan tinggi sang pemakai/pemiliknya. Karena perisai menjadi benteng bagi pemakainya. Sekarang perisai hanya disimpan sebagai barang pusaka. Perisai-perisai yang lama diyakini mampu membentengi rumah dari mara bahaya. Sedangkan perisai yang baru fungsinya hanya menjadi hiasan rumah.

Tetapi amat disayangkan, dewasa ini tidak semua orang bisa memahami filosofi yg terkandung dalam motif perisai Dayak Iban ,yang merupakan hasil budaya sarat makna religius dan fungsi praktis. Karenanya filosofi perisai Dayak Iban harus diimplementasikan secara benar sebagai satu sikap pernghargaan terhadap budaya Dayak itu sendiri. Bukan hanya sekedar hiasan dinding belaka.

SUMBER:https://bobyarya.wordpress.com/2014/02/23/makna-ukiran-perisai-dayak-iban/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar